Cari Blog Ini

Rabu, 26 Oktober 2011

Makalah Interlanguage Variability


Bagian I

1.     Pendahuluan
Kegiatan belajar mengajar secara universal sangat berpengaruh terhadap aspek pemahaman atau strukture kognisi. Dalam pengembangan teori belajar kognitif adalah konstruktivistik. Selama kegiatan berlangsung peran dari teori-teori pembelajaran sangat berpengaruh terhadap hasil output suatu pembelajaran.  Berdasarkan teori-teori belajar inilah yang sangat mendominasi dalam kegiatan belajar mengajar.

Semua teori dalam kegiatan pembelajaran merupakan hasil studi atau penelitian serta pengamatan dalam kegiatan pendidikan. Semuanya memilik pandangan yang spesifik tentang konsep belajar. Misal, Behavioristik secara spesifik menyingkapi perilaku yang terjadi dalam kegiatan belajara mengajar. Apakah perilaku tersebut merupakan gaya belajar atau merupakan respon yang timbul karena adanya suatu rangsang (stimulus).
Konstruktivistik merupakan bagian dari teori belajar hasil pengembangan dari teori kognitif. Dalam hal ini dapat di katakan bahwa pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing merupakan  kebutuhan saat ini. Dalam kegiatan tersebut peran konstruktivisrik sangat penting. Dalam mempelajari bahasa kedua, pembelajar bahasa menciptakan suatu sistem bahasa baru yang digunakan untuk dirinya sendiri yang oleh para linguis dinamakan sebagai interlanguage. Interlanguage tersebut menghasilkan suatu variabilitas yang disebut interlanguage variability. Dalam makalah ini akan dibahas lebih jauh tentang interlanguage dan variasinya dalam bahasa pembelajar.

2.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Interlanguage Variability” yang menimbulkan banyak penelitian tentang variasi yang terjadi ketika belajar bahasa asing. Dalam hal ini kami rumuskan masalah yang sring terjadi pada output belajar bahasa kedua diantaranya:
1.      Apakah yang dimaksud dengan konstruktivisme?
2.      Apakah yang dimaksud interlanguage?
3.      Apa sajakah yang termasuk dalam interlanguage varibility atau variasi dalam bahasa pembelajar?

Bagian II
1.     Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan paham yang menganggap bahwa dalam keadaan memepelajari sesuatu berhubungan dengan aspek kognitif dan social yang menjadi satu kesatuan. Pada dasarnya teori konstruktivistik merupakan teori pengembangan dari teori kognitif. Dalam pembelajaran konstruktivistik kognitif dan social memiliki peran yang berbeda. Secara kognitif pembelajar membangun representasi realitas mereka sendiri artinya menemikan serta mengubah informasi tertentu, sedangkan secara social  yaitu menekankan peranan penting interaksi social dan pembelajaran kooperatif dalam membangun gambaran-gambaran kognitif dan emosional atas reslitas.
Secara umum konstruktivistik mengarahkan  untuk pengadaan aktifitas social dan kognitif dalam pembelajaran apapun.

2.     Interlanguage
Yang dimaksud dengan interlanguage yaitu sistem linguistik yang digunakan oleh pembelajar bahasa kedua atau bahasa asing yang sedang dipelajari. Ketika mempelajari bahasa kedua, pembelajar membangun suatu sistem bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa pertama mereka. Sistem tersebut disebut “interlanguage” oleh Larry Selinker, seorang profesor dalam bidang linguistik berkebangsaan Amerika. Artikelnya yang berjudul “Interlanguage” muncul pada Januari 1972 dalam jurnal International Review of Applied Linguistics in Language Teaching. David Crystal dalam bukunya A Dictionary of Linguistics and Phonetics mengatakan bahwa interlanguage merefleksikan perkembangan aturan-aturan atau sistem lingusitik pembelajar, dan merupakan hasil dari berbagai proses, termasuk pengaruh dari bahasa pertama (disebut transfer), gangguan yang bersifat kontras dari bahasa sasaran (TL), dan generalisasi dari aturan-aturan baru.
Dalam konsep awalnya, secara metafora interlanguage diartikan sebagai “a halfway house” atau “rumah singgah” antara bahasa pertama (L1) dan bahasa sasaran atau bahasa kedua (TL/L2). L1 dapat dikatakan sebagai sumber bahasa yang berisi material awal yang kemudian dicampur secara bertahap dengan material yang diambil dari bahasa sasaran (TL). Penggabungan tersebut menghasilkan bentuk yang sama sekali baru yang bukan merupakan bentuk dari L1 ataupun TL.
Pada awal pembelajaran bahasa, pembelajar tentunya memiliki beberapa gambaran seperti apa bahasa asing itu, dan cara kerjanya. Dari gambaran-gambaran ini, mereka memproduksi ujaran, ucapan dan ungkapan yang beberapa mungkin benar dan yang lain mungkin salah. Kemudian, karena pembelajar mendapat pengetahuan tambahan tentang bahasa itu, mereka membangun gambaran baru dan cara kerjanya dengan lebih baik. Inilah yang disebut sebagai interlanguage : “pengembangan ide tentang bagaimana cara kerja bahasa lain”
Selinker mengemukakan teori interlanguage berdasarkan teori bahwa setiap manusia memiliki ‘struktur psikologi yang terpendam atau tersembunyi yang ada dalam otak’ yang akan aktif ketika manusia mempelajari bahasa kedua. Selinker berpendapat bahwa pada  situasi tertentu ucapan-ucapan yang dihasilkan oleh pembelajar berbeda dari native speaker walaupun sebenarnya memiliki maksud yang sama. Perbandingan ini menghasilkan sistem linguistik tersendiri bagi pembelajar.
Untuk mengetahui proses psikologinya, dengan membandingkan ungkapan yang diucapkan oleh pembelajar dengan dua hal, yaitu:
a.       Ucapan dalam bahasa pertama dengan isi pesan yang sama yang diproduksi oleh pembelajar.
b.      Ucapan dalam bahasa sasaran dengan isi pesan yang sama yang diproduksi oleh native speaker bahasa tersebut.
Sangat dimungkinkan untuk menerapkan perspektif interlanguage kepada pembelajar dengan dasar pengetahuan dari bahasa sasaran meliputi sistem suaranya (interlanguage phonology), grammar (morphology dan syntax), vocabulary (lexicon) dan kaidah penggunaan bahasa yang digunakan oleh pembelajar (interlanguage pragmatics).
Menurut Selinker terdapat 5 proses utama yang mempengaruhi pembentukan interlanguage:
a.       Language transfer
b.      Transfer of training
c.       Strategies of second language learning
d.      Strategies of second language communication
e.       Overgeneralisation
Namun Jean D’Souza (1977) berpendapat 5 proses tersebut dapat diringkas menjadi 3 proses, yaitu :
a.       Language transfer atau transfer bahasa. Pembelajar menggunakan bahasa ibunya untuk membantunya menciptakan sistem bahasanya. Hal ini bukanlah kesalahan, tetapi merupakan proses yang harus dilewati semua pembelajar.
b.      Overgeneralization. Pembelajar menggunakan aturan dari bahasa kedua yang tidak digunakan oleh native speaker. Sebagai contoh, pembelajar bisa saja mengatakan “I goed home”, meng-overgeneralize aturan bahasa Inggris dengan menambahkan –ed di akhir kata untuk membuat bentuk lampau. Kesalahan ini terletak pada strategi pembelajaran.
c.       Simplification atau penyedehanaan. Pembelajar menggunakan bentuk bahasa yang sangat sederhana atau yang disederhanakan yang mirip dengan bahasa yang diucapkan oleh anak-anak.

3.     Variabilitas dalam Interlanguage (Interlanguage Variability)
Walaupun menurut perspektif interlanguage melihat bahasa pembelajar sebagai bahasa tersendiri, namun bahasa ini secara sistematis jauh berbeda dan beragam dari bahasa yang digunakan native speaker. Seorang pembelajar akan mengucapkan kalimat seperti “I don’t” dalam satu konteks dan mengucapkan kalimat “me no” dalam konteks lain. Fenomena ini disebut oleh Chomskyan sebagai “performance errors” dan sama sekali tidak ada hubungannya secara sistematis. Di sisi lain, pihak yang memandang fenomena ini dari segi sosiolinguistik atau psikolinguistik melihat variabilitas ini sebagai ciri-ciri istimewa dari bahasa pembelajar.
Teori tentang variasi dalam interlanguage memerankan peran penting dalam penelitian pemerolehan bahasa kedua atau Second Language Acquisition (SLA). Banyak peneliti berusaha untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa muncul beberapa variasi yang diperlihatkan para pembelajar dalam perkembangan antar bahasa mereka. Variasi tersebut terkadang terlihat dalam parameter norma-norma yang bisa diterima, dan terkadang tidak. Gatbonton (1983) mengemukakan bahwa suatu variasi dalam bahasa pembelajar bisa dijelaskan dengan “penyebaran bertahap” bentuk-bentuk bahasa yang tidak tepat dalam tahap perkembangan muncul dan sistematis. Bentuk-bentuk tidak tepat itu hidup berdampingan dengan bentuk-bentuk yang tepat, lalu bentuk-bentuk tidak tepat itu dibuang.
Penelitian tentang variabilitas dalam bahasa pembelajar membedakan antara variasi bebas (free variation) atau variasi non-sistematis, yang secara sistematis tidak berhubungan dengan segi linguistik atau sosial, dan variasi sistematis (systematic variation). Variasi bebas dalam penggunaan suatu bahasa biasanya digunakan sebagai tanda bahwa bahasa tersebut belum diperoleh sepenuhnya. Pembelajar masih berusaha untuk memahami aturan-aturan dalam bahasa yang dipelajarinya. Tipe variabilitas seperti ini masih banyak ditemukan di antara pembelajar pemula, dan tidak ditemukan di kalangan mahir. Contoh dari variabilitas ini yaitu ketika native speaker dari Indonesia, yang berada dalam pembicaraan berbahasa Inggris, mengucapkan kata he dan she yang saling bertukar, padahal ia menunjuk pada perempuan.
Variasi sistematis muncul karena adanya pengaruh dari perubahan dalam linguistik, psikologis, dan konteks sosial. Faktor linguistik terjadi secara lokal. Misalnya, pengucapan suatu fonem yang sulit tergantung pada apakah fonem tersebut ditemukan pada awal atau akhir silab.
Secara umum, variasi interlanguage dapat dijelaskan dengan mengacu kepada faktor individual pembelajar, variasi performa dan faktor kontekstual. Faktor individu termasuk umur, bakat, model kognitif, motivasi, dan kepribadian. Dan untuk faktor kontekstual yaitu konteks situasional dan konteks linguistik. Ellis (1985) mengemukakan perbedaan yang jelas dari kedua konteks ini. Variasi bahasa pembelajar menurut konteks situasional terjadi ketika pembelajar menggunakan pengetahuan mereka tentang bahasa kedua (L2) secara berbeda dalam situasi yang berbeda. Contoh, ketika pembelajar ditekan untuk berkomunikasi secara instan, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk memaksimalkan pengetahun mereka untuk berkomunikasi sehingga kesalahan akan banyak muncul, namun kesalahan akan muncul sedikit ketika ia berada dalam situasi yang memiliki cukup waktu untuk menciptakan output secara hati-hati. Dan dalam konteks linguistik, variasi terjadi ketika pembelajar membuat kesalahan dalam satu tipe kalimat tetapi tidak dengan kalimat yang lain. Contoh, kesalahan dalam penggunaan orang ketiga tunggal dalam bentuk simple present tense bahasa Inggris mungkin tidak akan terjadi dalam kalimat tunggal, namun mungkin terjadi kesalahan dalam kalimat kompleks atau majemuk.
Model variabilitas yang dikemukakan oleh Rod Ellis (1994, 1986) yaitu model kompetensi variabel. Bertumpu pada karya Bialystok (1978), ia membuat hipotesis tentang gudang “kaidah-kaidah antarbahasa yang berubah-ubah” (h.269) tergantung pada seberapa otomatis kaidah-kaidah itu dan bagaimana mereka dianalisis. Dia menarik garis pembeda tajam antara wacana terencana dan wacana tak terencana untuk mengkaji variasi. Yang disebut pertama menyiratkan kurangnya otomatisitas, dan karena itu mengharuskan pembelajar mengandalkan kaidah-kaidah bahasanya sendiri. Yang belakangan lebih otomatis, karena itu mendorong pembelajar untuk mempelajari seperangkat kaidah lain.
Sedangkan Elaine Tarone memberikan model variabilitas yang ia sebut sebagai paradigma kontinum kapabilitas. Ia memfokuskan perhatiannya pada varibilitas kontekstual yang ia bagi ke dalam empat kategori:
a.       Konteks linguistik (linguistic context)
b.      Faktor-faktor pemrosesan psikologis (psychological processing factors)
c.       Konteks sosial (social context)
d.      Fungsi bahasa (language function)
Ia berusaha untuk menyelidiki bagaimana konteks linguistik dan situasional dapat membantu dalam menggambarkan beberapa hal yang tidak terjelaskan dalam variasi interlanguage. Crookes (1989) tertarik dengan penelitian tentang variasi ini memberikan pendapatnya tentang pentingnya hubungan variasi kontekstual dengan proses kognitif L2 pembelajar yang mampu untuk memanipulasi atau berubah. Teori ini mungkin akan dapat diaplikasikan langsung dalam situasi pembelajaran dan pengajaran.



Bagian III
Kesimpulan
Interlanguage merupakan sistem linguistik yang digunakan oleh pembelajar bahasa kedua atau bahasa asing yang sedang dipelajari. Tiga faktor utama yang mempengaruhi pembentukan interlanguage dalam diri pembelajar yaitu transfer bahasa (language transfer), overgeneralisation, dan penyederhanaan (simplification).
Variabilitas dalam bahasa pembelajar meliputi variabilitas sistematis (variability systematic) dan variabilitas non-sistematis (non-systematic variability). Yang termasuk dalam variabilitas sistematis yaitu variabilitas induvidual (individual variability) dan variabilitas kontekstual (contextual variability), variabilitas kontekstual itu sendiri terdiri dari konteks lingistik (linguistic context) dan konteks situasional (situational context). Sedangkan variabilitas non-sistematis terdiri dari variabilitas bebas (free variability) dan variabilitas performa (performance variability).
















DAFTAR PUSTAKA

Brown, Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan.Yogyakarta: UNY Press.
ecmd.nju.edu.cn/UploadFile/11/5082/l2theory29.doc (21/10/2011)
http//interlanguage use/yasmin killian, (08/10/11)

Tidak ada komentar: