the untold story of shoes.
Aku ingat, saat aku masih kecil, setiap
pergantian tahun ajaran baru, aku selalu merengek pada ibuku untuk dibelikan
sepatu baru. Menggunakan sepatu baru dihari pertama masuk kelas baru seperti
sebuah keharusan bagi anak-anak kecil seusia kami waktu itu, tidak peduli
sepatu lama kami masih pantas dan bisa dipakai atau tidak, kami hanya butuh
yang baru. Semakin aku dewasa, akupun sadar bahwa hal-hal seperti itu sangatlah
konyol.
Aku memiliki sepatu kesayangan, tidak
peduli orang lain memandangnya seperti apa, aku selalu merasa cocok
mengenakannya dengan baju apapun. Ada rasa percaya diri yang begitu kuat ketika
aku memakainya. Meski pada saat sepatu itu masih baru, rasanya kurang begitu
nyaman dan tidak pas di kaki, aku sempat ingin membuangnya karena sepatu itu
membuat tumit dan ujung kakiku terluka lecet. Tetapi aku sangat menyukai sepatu
itu, hingga aku memilih melindungi setiap sudut kakiku dengan plester agar
tidak lecet dan aku tetap bisa menggunakan sepatu itu dengan nyaman hingga
akhirnya sepatu itu menjadi sangat nyaman dipakai tanpa aku harus menggunakan
plester. Hingga suatu hari, aku menemukan ada sedikit kerusakan pada sepatu
kesayanganku itu dan aku mengabaikannya dengan pikiran ‘ah rusak kecil seperti
itu hanya biasa, orang tidak akan melihat’, aku tetap memakainya hingga sepatu
itu benar-benar rusak dan menyebabkan kakiku juga terluka. Aku memaksa tetap
memakai sepatu itu (meski aku tahu benda itu sudah lelah) karena pikiran tanpa
sepatu itu, aku tidak memiliki rasa percaya diri. Benda yang melindungi kakiku
dari kasarnya tanah, panasnya aspal dan tajamnya kerikil itu sangat berharga
bagiku. Tanpa disadari aku dan sepatu memiliki hubungan yang rumit dan pada
akhirnya saling menyakiti, Aku lupa bahwa jika sepatu itu rusak, maka kakiku
juga akan terluka. ah… tidak, bukan sepatu…pada dasarnya aku sendiri yang
menyakiti kakiku dan membuat sepatuku yang bagus rusak.
Memang setiap sepatu yang dibuat,
ditakdirkan untuk rusak. Tetapi sepatu-sepatu itu juga ditakdirkan untuk
dimiliki dan dirawat. Aku hanya pandai memakainya tetapi tidak merawatnya. Sekarang,
saat sepatu itu telah rusak, dijahit kembalipun tidak akan bisa, kalaupun bisa,
tidak akan bisa kembali dipakai. Mungkin sepatu itu memang tidak seharusnya aku
miliki sejak awal. Mungkin, ini adalah saat untuk kembali memperhatikan
sekelilingku, rak sepatu yang tidak kosong. Bukan untuk menemukan pengganti
sepatu itu (karena sepatu seperti itu hanya ada satu, kalaupun banyak, yang
memiliki arti dalam bagiku hanyalah sepatu itu) tetapi karena aku membutuhkannya.
Sepatu-sepatu itu berjajar rapi, aku hanya perlu memilih dan memakainya. Tetapi
aku takut sepatu yang bagus-bagus itu akan tergores di kakiku. Ah, aku hanya
perlu merawatnya, berjalan dengan baik dan tidak menyiksa sepatu-sepatu itu
dikakiku.
“Maybe,
Its time to take off our old shoes, footprints and the beaten paths we leave
here in shoe boxes.”